Mengapa Manusia Diciptakan?

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.

(QS. Adz Dzariyat: 56)

Mungkin bagi sebagian kita pertanyaan ini tidak pernah selesai. Mengapa aku diciptakan? 

Bagi yg beriman akan menjawab untuk beribadah kepada Allah , dengan mantap. 

Bagi yg imannya masih tipis dan kembang kempis, seperti saya, mungkin ada pertanyaan lanjutan, untuk beribadah? Kenapa Allah menciptakan kita hanya untuk beribadah? Bukankah dia begitu powerful dan tidak butuh ibadah kita? Mengapa Allah merasa perlu untuk menciptakan manusia agar kita beribadah kepada-Nya? 

Apa tujuan hidup manusia?

Keadilan dan Takdir

Saya terlahir sebagai seseorang yang secara fisik mungkin agak kurang ideal (pendapat saya, banyak juga yang berpendapat saya charming hehehe). Di masa masa remaja (growing pains istilahnya), kadang timbul pertanyaan kenapa saya tidak diciptakan lebih tinggi beberapa cm saja biar tidak sering dibilang pendek sama teman teman. 

Dari sini muncul pemikiran, kenapa Allah engga adil. Kenapa saya tidak ciptakan lebih tinggi beberapa cm aja? Gak banyak kok permintaan saya. Kenapa walaupun saya berdoa siang dan malam, dan sering latihan mengangkat diri di kusen pintu, tetap saja tidak bertambah tinggi. Bukankah ada ayat berdoalah pasti akan ku kabul kan? 

Bertambah pengalaman. Melihat kemiskinan, kenapa ada yang bekerja keras namun tetap miskin. Kenapa ada orang yang terlahir kaya?
Lingkar kemiskinan melahirkan orang-orang dengan fasilitas seadanya, bahkan tidak bisa sekolah. Memproduksi kemiskinan di generasi berikutnya. Segelintir orang yang kaya makin kaya. Yang miskin tambah miskin.

Mengapa jika ada Tuhan, ketidak-adilan dan penderitaan manusia ini terus ada?

Mengalihkan pertanyaan

Pertanyaan mengapa manusia diciptakan, mengapa alam semesta di ciptakan adalah salah satu pertanyaan yg menurut saya tidak pernah selesai terjawab dari perspektif pemikiran manusia. Bahkan adakah satu pencipta yg menciptakan alam semesta? ataukah semuanya tercipta secara kebetulan melalui proses acak masih menjadi perdebatan yg mungkin akan abadi. Bagi yg beriman menganggap hal ini sudah final dan tidak perlu dipertanyakan karena semuanya sudah dijelaskan dalam Al Qur’an. Namun bagi yang tidak beriman tentu saja tidak bisa diberikan jawaban seperti itu. Lha wong apakah Al Qur’an ini ciptaan Tuhan saja mereka tidak percaya.. 

Lucu rasanya melihat beberapa perdebatan antara kaum religius dan kaum atheis tentang keberadaan Tuhan, tapi melalui ayat-ayat kitab suci, yang tentu saja para Atheis tidak mempercayainya.

Alternatif yang bisa kita pegang adalah menganggapnya menjadi salah satu hal yg mungkin tidak akan pernah tercapai oleh akal dan mengembalikannya pada pengalaman spiritual masing-masing. 

Jika kita tidak bisa menjawab secara final motif kenapa manusia diciptakan atau alasan kenapa sang pencipta tergerak untuk menciptakan manusia, maka mungkin kita bisa mengalihkan pertanyaannya menjadi untuk apa kita hidup? Pertanyaan ini penting terjawab karena akan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup kita sehingga membuat hidup kita berarti. 

Manusia diciptakan untuk beribadah menurut islam. Menurut filsafat Stoic/filosofi teras, manusia diciptakan untuk berbuat sesuai fitrahnya (to live according to nature). 

Waktu saya kecil, saya menganggap beribadah adalah perbuatan spesifik seperti sholat, zakat, puasa, sedekah. Nami seiring pengetahuan saya bertambah, ternyata definisi ibadah dalam islam pun luas. Apapun hal baik yg dikerjakan manusia dalam rangka mencari Ridha Allah ternyata adalah ibadah. Ketika manusia berbuat sesuai fitrahnya: bekerja mencari nafkah untuk diri dan keluarga, belajar untuk memperluas pengetahuan dan skill, bersosialisasi untuk berkolaborasi untuk menghasilkan manfaat bahkan berbubungan badan (seksual) untuk memenuhi hasrat biologis dan berkembang biak selama itu masih dalam koridor sesuai aturan Allah maka itu adalah ibadah. 

Jadi sepertinya memang ada benang merah dari berbagai tradisi dan kepercayaan manusia? 

Tujuan Hidup Manusia

Banyak kepercayan atau filsafat kuno yang berpendapat bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagian atau kedamaian. Lalu apa itu kebahagiaan? Pendahulu Stoic, seperti Zeno berpendapat bahwa kebahagiaan adalah “smoothly flowing life”. Lalu bagaimana mencapai smoothly flowing life?

Seneca dan Epictetus mengatakan kita bisa mencapai smoothly flowing life dengan bertindak sesuai fitrah. Live according to nature. Apa itu fitrah manusia? mencapai human excellence. Manusia yang paripurna.

Para Stoic percaya bahwa manusia terlahir dengan tanggung jawab untuk menyempurnakan diri dengan cara meningkatkan karakter kita menuju kesempurnaan. Menyelesaikan proses penciptaan, dengan secara sadar menggunakan alat yang hanya dimiliki manusia dan tidak oleh makhluk lain: akal budi. Manusia adalah manusia yang berakal budi.

Jadi tujuan manusia adalah mencapai kesempurnaan fitrah manusia. manusia yang hidup terhormat dan bermanfaat baik bagi dirinya dan orang di sekitarnya. Manusia yang berakhlak mulia. Dan tiap saat kita harus menyelaraskan aktifitas kita untuk mencapai tujuan tersebut. Bagaimana kita bisa menjadi manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu, bagaimana kita bisa menjalani hidup yang baik (good life).

Manusia yang berakhlak mulia adalah manusia yang mencintai dan terus berusaha mendapatkan kebijaksanaan, khususnya kebijaksanaan yang berkaitan dengan cara kita menjalani hidup sehari-hari (practical wisdom). Kebijaksanaan, pengetahuan untuk memilah baik dan buruk, adalah dasar dari kebajikan yang lain. Penganut nasrani mungkin mengenal istilah cardinal virtue atau kebajikan utama seperti kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan disiplin diri.

Bagi anda yang muslim dengan tradisi NU mungkin juga familiar dengan konsep tasamuh, tawazun, tawasuth dan amar ma’ruf nahi mungkar.

Kebijaksanaan: Kemampuan Memilah Baik dan Buruk

Para Stoic memiliki doktrin tentang pemahaman baik dan buruk dan kebijaksanaan. Baik dan buruk itu tidak dapat disematkan pada hal-hal di luar kontrol diri sendiri (yang dapat kita sebut hal eksternal), namun hanya dapat disematkan pada hal-hal yang berada dalam kontrol diri sendiri (pikiran, persepsi dan perbuatan kita). Jadi baik dan buruk hanya dapat kita sematkan pada karakter kita. Untuk hal-hal diluar diri kita, kita tidak dapat menyebutnya baik atau buruk, namun netral.

Hal-hal eksternal yang menimpa kita, misalnya kenapa tinggi saya di bawah rata-rata itu bukanlah hal yang baik atau buruk, melainkan netral. Saya pendek itu harus dianggap sebagai hal yang memang sudah ditakdirkan terjadi, dan sifatnya netral saja, sebagaimana ada orang cantik dan buruk rupa, ada orang kaya, ada orang miskin, ada orang cerdas, ada yang kurang cerdas.

Yang membuat kenyataan bahwa saya pendek itu menjadi buruk itu adalah persepsi saya sendiri. Saya yang memberi nilai pada kejadian/kondisi itu dan melabelinya dengan buruk. Dan hal inilah yang membuat saya menjadi menderita.

Dikotomi kendali: Memilah mana yang dalam kendali dan di luar kendali kita

Dari pengertian bahwa baik dan buruk itu hanya terjadi pada lingkar pengaruh kita (persepsi, pikiran, perbuatan), maka bagi para Stoic, kita hanya perlu berforkus pada hal-hal yang berada dalam kendali kita. Untuk hal-hal di luar kendali kita seharusnya bersikap netral saja. Menganggapnya sebagai bagian yang sudah di atur oleh Tuhan (bagi yang mempercayainya) atau mekanisme acak alam semesta (bagi yang Atheis).

Apakah akan ada gunanya saya meraung-raung meratapi tinggi badan saya? tidak. Yang berguna adalah menerimanya sebagai suatu takdir, dan hanya berfokus pada hal-hal yang berada dalam kendali saya. Misal, saya bisa bersyukur dengan anugerah saya yang lain.

Bagi para Stoic, kekayaan, reputasi, kesehatan, pekerjaan adalah hal-hal yang eksternal dan di luar kendali. Oleh karena itu sifatnya netral.

Mungkin akan ada perbedaan pendapat di sini. Tidak, kekayaan, reputasi, kesehatan, dan pekerjaan itu bisa diupayakan dengan kerja keras. Tentu saja, anda benar, anda bisa mempengaruhi hal-hal tersebut dengan kendali anda, tapi tetap saja hasil akhirnya ada di luar lingkar kendali anda.

Lihat wabah virus Corona saat ini. Apakah orang-orang yang terjangkit adalah orang-orang yang tidak menjaga kesehatan. Sampai saat ini ditulis, di Indonesia, orang-orang yang terjangkit adalah orang-orang level menengah ke atas, yang biasanya lebih peduli terhadap kesehatan. Namun tetap saja, nasib membawanya untuk terjangkit virus Corona.

Karena sifatnya yang netral, maka tidak sewajarnya kita terlalu terikat dengan hal-hal tersebut. Bagi para Stoic, kaya atau miskin sama saja. Dengan kaya, anda mendapat kesempatan untuk melatih karakter anda agar tidak sombong dan dermawan. Dengan miskin anda dapat melatih karakter anda dengan kesabaran. Begitu juga dengan kerupawanan, tinggi badan, kesehatan dan seterusnya.

Karena tujuan para Stoic bukanlah untuk menjadi kaya, terkenal atau sehat. Tujuannya adalah menjadi manusia paripurna yang memiliki akhlak mulia. Dan apapun hal eksternal yang terjadi adalah kesempatan bagi kita untuk melatih karakter kita agar memiliki akhlak yang mulia.

Bersedihlah bukan karena anda pendek, atau jatuh miskin atau jatuh sakit. Bersedihlah jika hal-hal tersebut membuat karakter anda menjadi buruk.

Leave a Reply