Minggu 3: Latihan untuk Melihat dari Luar Diri

Ketika pelayan seseorang memecahkan cangkir anggur, kita akan dengan mudah berkata “Hal ini biasa terjadi”. Ketahuilah, ketika yang pecah adalah cangkir anggur kita sendiri, apakah kita bisa bersikap sama?

Terapkan pada hal lain yang lebih besar. Seorang anak atau istri meninggal? kita pasti akan berkata, “Sudah demikian takdir manusia”; akan tetapi ketika yang meninggal adalah keluarga kita, kita langsung berteriak “Malangnya nasibku!”

Epcitetus, Enchiridion, 26

“Bersabarlah. Setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Lebih baik kita bersabar, tabah, dan berdoa semoga Almarhum husnul khatimah dan mendapat tempat yang layak di sisi-Nya” Nasihat kita kepada rekan yang baru saja mengalami musibah: salah satu anggota keluarganya dipanggil oleh Tuhan.

Pengamat akan bersikap lebih objektif terhadap masalah yang menimpa orang lain

“Tidak usah kita menyesali keadaan. Lebih baik kau mempersiapkan diri lebih baik untuk ujian berikut-nya”, Komentar kita pada rekan yang baru mengalami gagal ujian sertifikasinya.

“Macet itu sudah lumrah. Kita hadapi saja. Percuma kita marah-marah, karena tidak memperbaiki keadaan” Ujar kita melihat teman yang marah-marah karena macet dan terancam telat hadir ke interview pekerjaannya.

Seorang Pengamat (biasanya) Lebih Obyektif..

Kita biasanya lebih dapat bersikap objektif terhadap suatu peristiwa ketika kita berada di luar peristiwa tersebut. Hal ini karena ketika kita tidak terlibat langsung dengan suatu peristiwa, opini atau penilaian kita tidak terselimuti oleh emosi negatif.

Ingat dalam latihan di minggu-minggu sebelumnya bahwa semua peristiwa di dunia ini adalah netral. Persepsi dan penilaian kitalah yang membuatnya menjadi peristiwa baik atau buruk.

Agar kita dapat bersikap objektif terhadap peristiwa yang kita alami dan tidak terlarut dalam emosi negatif, para praktisi filosofi teras atau stoic, menganjurkan untuk berlatih melihat dari luar diri. Yakni bermeditasi terhadap suatu kejadian dengan membuatnya seolah-olah terjadi pada orang lain.

Dengan mengambil jarak dari suatu peristiwa buruk yang terjadi pada diri kita, kita mengambil jarak dari reaksi emosional alami kita. Kita tidak akan dengan mudah “self-emphatize” misalnya dengan berteriak malang-nya nasib ku.

Dengan memposisikan diri melihat masalah dari luar diri kita, kita akan dapat memiliki perspektif yang lebih luas dan akan dapat menolong diri kita sendiri untuk bersikap secara rasional.

Mengambil jarak dari peristiwa yang terjadi pada diri kita, kita akan dapat mengingat bahwa hal-hal sulit pasti akan terjadi – dan bukan hanya terjadi pada kita, tapi juga pada orang lain. Dengan demikian anda akan dapat bersikap lebih tenang. Kita akan dapat mengembangkan sikap kalem berkaitan dengan hal-hal yang tidak dapat kita kontrol atau tidak sepenuhnya dapat kita kendalikan.

Sebaliknya, dengan mengambil jarak dari suatu periswia, untuk kejadian yang sesuai dengan keinginan kita, kita akan bersyukur namun tidak berlebihan. Kita akan dapat mengembangkan sikap tidak terlalu terikat pada karunia yang dianugerahkan kepada kita, karena demikianlah kehidupan.

Latihan melihat dari luar diri ..

Seperti latihan-latihan sebelumnya, untuk skill ini pun kita akan melatihnya dengan jurnal harian. Pilihlah satu waktu dari hari anda, untuk berlatih.

Set sekitar 15 menit per hari untuk menulis satu topik. Topik itu bisa jadi masalah yang anda hadapi hari itu, atau kekhawatiran anda terhadap suatu peristiwa yang akan terjadi besok. Topik apapun yang mengganggu pikiran anda.

Jika tidak ada hal yang mengganggu anda hari itu, dan anda tidak memiliki kekhawatiran untuk esok hari, pilihlah satu kejadian yang mengganggu anda di masa lalu.

Pikirkan tentang satu masalah dan cara menghadapinya, tapi dari perspektif orang lain. Alih-alih menggunakan kata ganti orang pertama (“Aku”) dalam jurnal, gunakan kata ganti orang ke-dua (“Kamu”)

Misal: “Hari ini kamu merasa insecure, karena merasa tidak dapat menyelesaikan tugas kamu tepat waktu”

Teruslah menulis sampai timer berakhir.

Berikut adalah salah satu contoh jurnal dengan mengambil perspektif orang lain:

“Hari ini kamu merasa begitu overloaded, karena banyak sekali target yang ditetapkan untuk kamu kerjakan. Sudah lima hari terakhir kamu kerja lembur dan baru tiba di rumah jam 2 pagi. Mungkin karena kamu lelah, perkataan bos kamu pagi ini ketika menanyakan status pekerjaan, terdengar menyebalkan karena nada ucapannya yang lebih keras dari biasanya. Mungkin dia juga lelah.”

Aku tahu, masih begitu banyak hal yang harus kamu kerjakan. Mungkin besok kamu bisa dapat melihat dari sudut pandang yang lebih luas dan mencoba mendelegasikan lebih banyak pekerjaan ke tim mu. Lebih baik kamu tidur hari ini sehingga dapat berpikir lebih jernih esok hari”

Membuat jurnal seperti di atas adalah praktek yang cukup umum di kalangan praktisi filosofi teras. Jika anda ingin mendapat insight lebih jauh tentang metode ini, anda bisa membaca karya Marcus Aurelius “Meditation”. Meditation adalah salah satu dari sedikit karya tokoh Stoic/Filosofi teras yang selamat hingga kita bisa baca hingga hari ini. Marcus Aurelius adalah seorang kaisar Romawi yang dikenal sebagai salah satu kaisar yang baik.

Dalam Meditation, Marcus Aurelius menulis tentang hal-hal dalam kesehariannya menggunakan kata ganti orang ke-dua.

Buku Meditation sebenarnya adalah jurnal pribadi hari harian yang tidak ditujukan untuk dibaca oleh orang selain selain pengarangnya. Ini tercermin dari judul asli Meditation yakni “Untuk dirinya sendiri” (To Himself)

Leave a Reply